Selasa, 29 Januari 2008

REFLEKSI 60 TAHUN HMI

REFLEKSI 60 TAHUN HMI

Oleh Revi Marta Dasta
(Singgalang. Jumat 26 Januarai 2007)


“Hari ini adalah rapat pembentukan Organisasi mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres.”
Demikanlah prakata Prof. Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 60 tahun silam. Hari ini rabu 14 Rabiul Awal 1366H, bertepatan 5 Februari 1947 M. rapat yang berlangsung di salah satu runga kuliah STI (Sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.
Organisasi ini ternyata mendapat sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melaikan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutan pada peringatan 1 Tahun berdiri HMI, 5 Februari 1948. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Soedirman mengatakan “HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri” bagi Pak Dirma, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Haparan masyarakat Indonesia.

Perjalalanan awal

Memasuki usia 60 tahun ini, Pengurus Besar (PB) HMI mengintruksikan kepada seluruh kader HMI yang ada di Indonesia untuk melaksanakan berbagai kegiatan seperti membuat tulisan, kegiatan sosial dan seminar tentang HMI. Agenda Dies Natalis ini merupan salah satu agenda politik pemerintah pusat kurun waktu Januari-Maret 2007 (Kompas, 11 Januari 2007).
Bagaimanapun keberadaan HMI tidak dapat dipisahkan dengan kelahiran bangsa Indonesia karena HMI lahir tepat dua tahun setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggala 17 Agustua 1945. Sudah dapat dipastikan bahwa HMI memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan cita-cita mulia menjadi masyarakat yang merdeka, adil dan makmur. Setidaknya ada lina zaman yang dilalui HMI, selama itu juga HMI melewati banyak tantangan dan rintangan seiring dengan ciri dan karakter masing zaman tersebut. Pertama, Zaman kemerdekaan (1946-1949), HMI melewati beberapa fase, yaitu konsolidasi, pengokohan dan perjuangan menghadapi pemberontak PKI. Pada fase ini segenap kader HMI terjun kegelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. HMI membentuk Cops Mahasiswa (CM) di bawah pimpinan Ahmad Tirtosudirto, ikut membantu pemerintah dengan mengarahkan anggota CM ke gunung-gunung memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Kedua, Zaman Liberal (1950-1959), lewat kongres ke V HMI di Medan 1957 menghasilkan keputusan menuntut Islam sebagai dasar Negara dan mengharamkan penganut ajara komunis. Ketiga, Zaman Orde Lama (1950-1965), HMI menghadapi tantangan pembubaran oleh PKI lewat propagandanya dengan mencari dalil dan fitnah yang tidak ada buktinya. DN. Aidit sebagai pemimpin pimpinan PKI waktu itu menyebutkan “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadapa HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersama dengan bubarnya Masyumi.” Pidato Aidit yang menyakitkan adalah “Kalau tidak sanggup membubarkan HMI pakai kain sarung saja.” Namun perlawanan terhadap gerakaan DN. Aidit tersebut datang dari generasi muda Islam (GEMUIS) yang lahir 1964, membentuk Panitia Solidaritasd Pembeblaan HMI. Lewat apel akbarnya membawa spanduk yang berbunya “Langkahi Mayat sebelum goyang HMI”. Anti klimaks dari peristiwa itu, PKI melakukan pemberontakaan tersebut adalah PKI, maka HMI secara organisatoris mengeluarkan pernyataan mengutuk Gestapu PKI lewat surat nomor: 2125/B/Sek/1965 yang ditanda tangani oleh Sulastomo sebagai Ketua Umum dan Marie Mahmammad sebagai sekretaris Jenderal PB HMI. Akhirnya HMI masih tetap bertahan sampai sekarang, sedangkan PKI dibubarkan oleh pemerintah. Keempat, Zanam Orde Baru (1966-1998), HMI beperan sebagai pejuang Ode Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 dengan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), berpartisipasi dalam pembangunan serta atau pergolakaan dan pembaruan pemikiran Islam, puncaknya tahun 1970 takkala Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode) menyampaikan ide pembaruaan pemikir Islam dan masalah interaksi umat. Kelima, Zaman Reformasi (1998-sekarang) bila dicermati dengan seksama secara histories HMI sudah mulai melaksanakan gerakaan reformasi dengan menyamapaikan beberapa pandangan yang berbeda dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, seperti yang disampaikan oleh ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Grha Insa Cita Depaok tanggal 22 Februari 1998 dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa yang Beradap. Pidato ini disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto.

HMI Sekarang

Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru muncul keberanian masyarakat kita untuk melakukan kritikan terhadap segala hal yang dianggap tabu selam ini. HMI juga telah menjadi sasaran kritik berbagai kalangan, baik internal maupun eksternal HMI. Kritikan yang paling pedas datang dari Cak Nur HMI sekarang tidak sesuai dengan lagi dengan misi awal pendiriannya, kader HMI cenderung elitis dan banyak berpolitik dari pada memikirkan persoalan umat dana bangsa. Sebagai orang yang pernah besar di HMI, kritik Cak Nur tersebut tentu tanpa alas an tetapi melewati pengamatan dan analisis yang mendalam.
Evaluasi dan kritik terhadap suatu pengalaman sejarah separti HMI patut dilakukan. Mengutip ungkapan sejarahwan Sartono Kartodirdjo “….siapa yang mengontol masa lamapu akan menguasai masa depan” artinya, kritik yang dialamatkan kepada HMI merupakan langkah dalam penyelamatan organisasi ini. Berdasarkan pengamatan penulis sebagai salah seorang kader HMI melihat ada empat persoalan mendasar yang dihadapi HMI saat ini. Pertama, Rekruetmen kader yang tidak ada lagi mementingkan kualitas, kondisi ini disebabkan oleh masih kurangnya promosi yang dilakukan HMI di kampus sebagai basisinya. HMI jarang sekali melakukan aktifitas-aktifitas yang menarik bagi mahasiswa saat ini seperti diskusi-diskusi yang selama ini menjadi ciri khas HMI. Sehingga HMI tidak lagi dikenal di kampus mahasiswa tidak memiliki minat masuk HMI. Saat ini yang menjadi kader HMI harus “merayu” dulu untuk mendapatkan anggota baru bukan lagi atas kesadaran semata. Kurangnya follow up yang dilakukan oleh Instruktur kepada peserta paska traning juga menjadi persoalan-persoalan yang tidak ada solusinya. Sehingga anggota baru yang akan dilantik bagai ayam kehilangan induk karena sering ditinggal. Padahal substansi dari sebuah pentrainingan adalah follow up yang harus maksimal dilakukan pasca latihan kader 1. Keduan, gerakan HMI dalam mengambil tema gerakaan, seakan terombang ambing dan terkesan elitis sehingga nantinya terimbas pada pragmatisme kader yang jauh dari prinsip. Ketiga, kehilangan indentitas, HMI sebagai organisasi yang berasaskan Islam kadang kala tidak lagi menunjukan identitas keislamannya yang harus dipegang teguh dalam setiap prilaku kader HMI. Mesjid sebagai basis mulai ditinggalkan. Kajian-kajian keislaman yang dilakukan HMI kurang diiringi denagan impelementasinya. Keempat, pencitraan alumni, penulis berpendapat bahwa pencitraan alumni sangat berpengaruh terhadap eksestensi HMI. Potensi alumni yang dimiliki oleh HMI merupakan model yang berarti bagi perkembangan HMI. Banyaknya alumni HMI yang menduduki posisi strategis di negeri tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu factor penunjang bagi eksistensi dan survenya HMI. Namun adanya alumni yang bermasalah juga menambah beban pencitraan HMI di masyarakat. Tetapi, yang lebih ironis ada juga segelintir aknom alumni yang mencoba memanfaatkan HMI untuk kepentingan tertentu. Lebih unik lagi ada saja yang mengaku sebagai alumni HMI, jika organisasi ini menguntungklan strategi. Tetapi, apabila tidak ada hampir semua mencerca HMI, jarang sekali memberikan solusi.

HMI Masa Datang

Memprediksi HMI yang akan datang bukanlah pekerjaan yang mudah butuh analisa dan diagnosa yang mendalam. Sejarahwan HMI Prof. DR. Agussalim sitompul (guru besar UIN Yogyakarta) sudah mulai mencoba dianosa tersebut lewat buku yang berjudul “44 indikator kemunduran HMI suatu kritik dan koreksi untuk kebangkitan kembali HMI”. Dalam buku itu dijelaskan secara gamlang tentang kemunduran-kemunduran HMI dari masa ke masa. Berdasarkan hasil diagnosa beliau memprediksi keberadaan HMI ada tiga kemungkinan. Pertama, HMI akan eksis dan akan kembali bangkit dari keterpurukan selama lebih kurang 25 tahun apabila mau melakukan perubahan-perubahan. Perubahan terdebut dilakukan oleh HMI dengan memaksimalkan agenda studibanding melakukan penelitian dan pengembangan organisasi secara intensif sesuai dengan tuntutan zaman capacity bulding (penguatan dan pengembangan sumber daya manusia hmi), voicing (melakikan interaksi yang baik dengan eksternal HMI), networking (kemampuan mencari patner HMI untuk ikut peka terhadap madalah umat). Kedua, HMI status Quo hal ini terjadi apabila HMI masih merasa dirinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar, tertua, sebagai kesombongan histories yang kini menghinggapinya. Lebih dari pada itu HMI tidak mau mendengar kritik dari luar maupun dalam HMI. Ketiga, HMI akan hilang dari peredaran untuk tidak dikarenakan bubar apabila tidak mau memperbaiki diri. Sangat dibutuhkan kepemimpinan yang berkualitas tidak saling merasa benar yang akan membuat perpecahan di tubuh organisasi.
Menjadikan kembali HMI sebagai harapan masyarakat Indonesia adalah tugas berat dan butuh perjuangan yang berat pula. Tujuan HMI yang terdapat dalam pasal 5 AD HMI yaitu … mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT adalah cita-cita mulia yang semestinya menjiwai semangat kader HMI untuk mewujudkannya. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar harapan tersebut tercapai secara maksimal. Pembenahan persoalan interaksi organisasi menjadi kemestian yang harus dilakukan, berkurangnya minat anggota HMI menjadi instruktur pengelola LK adalah persoalan berat. Untuk itu perlu dibuat progran untuk mrnggairahkan kader HMI menjadi seorang instruktur pengkaderan pada pada setiap training. Karena, HMI adalah organisasi kader bukan organisasi masa dan pengkaderan adalah jantung organisasi. Ketika pengkaderan tidak ada lagi, maka HMI hanya akan tinggal nama saja. Di samping itu perlu pengawalan terhadap follow up anggota baru yang dilantik dengan menaksinalkan metode kakak asuh disetiap level training. Untuk eksternal gerakan HMI difokuskan pada isu-isu yang menyentuh masyarakat bawah seperti pendamping agenda pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Begitu juga dengan mengembalikan HMI ke kampus adalah solusi untuk mempromosikan HMI ke kampus sehingga HMI back to campus tidak hanya slogan belakang. Akhirnya untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia HMI harus dikembalikan kepada komunitasnya semula yaitu mahasiswa dan masyarakat.
Kerberhasilan sebuah organisasi kemahasiswaan tidak mutlak diukur dengan harus menguasai kampus menjadi ketua-ketua lembaga di kampus dan unit kegiatan mahasiswa lainnya. Tetapi, yang paling penting mengembalikan peran organisasi kemahasiswaan sebagai organisasi perjuangan yang mampu melahirkan perubahan dengan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat baik sebagai individu kader maupun organisasi. Jika itu sudah dilakukan maka HMI akan selalu menjadi harapan bangsa Indonesia. Selamat ulang tahun HMI ke 60 bahagia HMI yakin usaha sampai.

Tidak ada komentar: