Selasa, 29 Januari 2008

MELIHAT KEMBALI REFORMASI

MELIHAT KEMBALI REFORMASI
Oleh Revi Marta Dasta
(Haluan. Senin 28 Mei 2007)

Pada bulan Mei ini kembali kita diingatkan oleh sejarah kelam yang pernah terjadi di negeri ini. Sejarah fenomenal itu adalah pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai presiden setelah berkuasa selama 23 tahun lamanya. Tidak ada yang menyangka bahwa kekuatan masyarakat mampu melakukan itu, padahal jika coba menganalisis, kekuatan Soeharto masih kuat saat itu. Tetapi sejarah bercerita lain, kekuatan masyarakat yang terorganisir ternyata mampu menumbangkan rezim otoritarian Soeharto. Soeharto dan koloninya dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap berbagai krisis ekomoni, sosial maupun krisis kepercayaan yang berakibat bangsa ini berada diambang kehancuran. Selanjutnya peristiwa itu dimanakan sebagai hari reformasi. Atau hari penuh perubahan.

Keberhasilan perjuangan reformasi menurunkan Soeharto diraih dengan tidak mudah, tetapi butuh banyak pengorbanan, baik tenaga, harta maupun nyawa. Kondisi ini dapat diketahui dengan berbagai peristiwa memilukan yang banyak terjadi menjelang Soeharto turun tahta. Diantaranya penjarahan massal, perkosaan, penculikan maupun pembunuhan yang telah menimpa anak bangsa ini.

Sampai saat ini kasus-kasus itu masih belum terungkap kepermukaan sehingga menimbulkan kekecewaan. Seakan kasus tersebut sudah hilang dari sejarah, meskipun presiden demi presiden telah berganti. Namun, yang dikemaukan oleh keluarga korban adalah sikap frustsi dan kemarahan.

Mereka hanya diberi janji kosong oleh pemerintahan. Nampaknya belum ada kepastian hukum yang mampu menjamin keamanan warga Negara dari berbagai bentuk teror.

Kilas Balik Reformasi
Jika kita kembali melihat masa-masa awal tumbangnya Soeharto, ada tiga kelompok dalam masyarakat bangsa kita yang berbeda pendapat dalam memandang tuntutan reformasi. Pertama, masyarakat yang menghendaki reformasi total, artinya sangat mendasar dan menghendaki revolusi. Kedua, kelompok masyarakat yang menganggap reformasi ini sebagai kekuatan besar. Ketiga, arti reformasi atau yang lebih dikenal sebagai staus Quo.

Kalau dilihat fenomena politik sepanjang 30 tahun pemrintahan Soeharto, kita memahami tuntutan reformasi total itu. Akan tetapi, yang namanya perubahan itu tidak akan datang begitu saja. Perubahan itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Oleh sebab itu, ada sejumlah prasyarat bagi munculnya perubahan itu. Secara umum prasyarat itu adalah apakah masyarakat itu memang siap untuk melakukan perubahan. Ada tiga hal yang menjadi acuan dalam melihat kesiapan masyarkat untuk perubahan. Pertama, adalah organisasi. Apakah ada organisasi masyarakat yang solid mengagendakan perubahan. Kedua, adalah kepemimpinan. Apakah ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang bisa menjadi symbol sebagai perubahan itu atau yang bisa menyatukan begitu banyak kelompok dalam masyarkat. Dan yang ketiga tentu saja adalah idiologi mengenai perubahan. Ada satu idiologi mengenai perubahan yang disepakati oleh masyarakat yang menginginkan perubahan itu. Yaitu perubahan untuk meninggalkan apa? Dan mau kemana?

Masalahnya adalah di dalam masyarakat kita, ketika Soeharto jatuh, kita belum punya ketiganya. Tidak ada organisasi yang solid yang menjadi payung bagi kekuatan-kekuatan sosial yang ada. Tidak ada pemimpin yang menjadi tokoh bagi pemimpin yang ada, dan juga tidak ada idiologi perubahan itu sendiri yang solid. Inilah problem yang dihadapi kelompok pertama. Oleh karena itu, semangat kelompok pertama menghendaki perubahan radikal atau total, memang ketiga-tiganya gagal. Sebab situasi masyarakatnya tidak mendukung. Lihat saja misalnya, pemimpin oposisi atau pemimpin masyarakat yang namanya Gus Dur, Amien Rais, Megawati dan lain-lain. Sampai detik ini tidak bisa saling bekerja sama. Hal ini membuktikan tidak ada satu tokoh yang menjadi panutan bagi semua tokoh. Apa yang kita alami saat ini adalah reformasi bertahab yaitu kelompok kedua. Dengan pertimbangan yang realistis, apa yang boleh buat reformasi dimulai dengan pemilu yang dipercepat.

Tapi yang jelas adalah bahwa reformasi yang sikapnya radikal tidak begitu mendapatkan dukungan masyarakat, ketimbang reformasi yang sifatnya bertahap. Pemilihan yang kedua pun sebenarnya belum mampu sepenuhnya menyelesaikan krisis ekonomi yang sampai saat ini masih kita alami.

Pro Kotra Reformasi
Memasuki usianya yang kesembilan proses reformasi di Negara ini mendapatkan tnaggapan yang beragam dari masyarakat, baik yang puas maupun tidak puas. Ada sebagian orang menyesalkan reformasi ini terjadi. Namun, sebalik ada juga orang sangat diuntungkan dengan terjadinya reformasi. Menurut pendapat penulis ada dua versi yang mungkin bisa kita jawab. Pertama, orang yang puas dengan reformasi. Keadaan ini dapat dilihat sekarang, betepa banyak partai politik yang lahir. Orang yang selama ini kalah bersaing ketika zaman Orde Baru, sekarang sudah bisa berkuasa dan menikmati nikmatnya kursi empuk kekuasaan. Baik mereka yang menjadi anggota DPR, maupun eksekutif. Karena memang di dalam reformasi ini, kebebasan dibuka selebar-lebarnya. Orang yang selama ini takut mengkritik, sekarang tidak sungkan-sungkan lagi untuk melakukan itu. Rakyat sudah mampu mengkritik pemimpinnya, begitu juga dengan pemimpin, mereka sudah dari awal mempersipakan diri untuk dikritik sebelum berkuasa. Sehingga orang yang akan menjadi pemimpin harus berfikir berulang kali untuk berkuasa. Wadah untuk mengkritik juga sudah disediakan, seperti media cetak maupun media elektronik. Kedua media itu menyajikan berita secara akurat tanpa ditutupi seperti dulu lagi.

Kedua, orang yang tidak puas dengan reformasi. Mereka adalah orang yang berdiri dalam status Quo, dan tentu tidak tinggal diam begitu saja dengan kondisi ini.

Berbagai cara juga akan mereka tempuh agar reformasi ini gagal di tengah jalan. Di lain fihak rakyat kecil tentu sangat merasakan sekali akibat dari reformasi.

Sebab orang kecil selaku mendapatkan akibat dari perubahan yang dilakukan orang-orang besar. Selama ini yang dibutukan mereka hanyalah persoalan makan dan keamanan. Nah sekarang yang kedua ini yang telah hilang.

Coba kita lihat, begitu banyak terjadi tindakan kriminal. Pembunuhan diman-mana. Begitu juga dengan pengedaran narkoba yang cukup memprihatikan. Belum lagi banyak dari masyarakat yang kurang gizi dan kelaparan. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, beginikah hasil dari reformasi ini?

Jawabnya tentu kita harus kembali kepada istrumen-istrumen yang menyebabakan reformasi itu berjalan dengan baik. Yaitu harus memiliki organisasi yang solid, pemimpin yang bisa mengatur semua pihak dan memiliki idiologi perubahan. Jika, tidak kembali menkaji hal ini, maka reformasi akan jalan di tempat.

Tidak ada komentar: