Selasa, 29 Januari 2008

MUSIBAH DAN PRILAKU ELIT

MUSIBAH DAN PRILAKU ELIT
Oleh Revi Marta Dasta
(Haluan. Sabtu, 10 Februari 2007)

Musibah nampaknya tidak akan pernah menimpa repoblik ini. Belum selaesai penanganan satu musibah sudah datang musibah berikutnya. Ketika pemerintah masih disibukaan dengan penangaan penyebaran flu burung, masih terbengkalainya korban demam berdarah, sekarang sudah datang banjir melanda kota Jakarta. Konsentrasi pemerintah seakan pecah dengan banyaknya musibah ini. Pemerintah seakan kewalahan, mana yang akan dijadikan prioritas dalam penanganan musibah ini. Sementara masing-masing musibah sama-sama penting untuk dibantu karena berhubungan dengan penyelamatan nyawa. Samapai saat ini bajin Jakarta telah merenggut puluhan nyawa manusia, belum lagi jumlah kerugian materi yang dialami. Masyarakat masih banyak mengungsi dan kelaparan karena tidaka mendapatkan pasokaan makanan. Walaupun bantuan demi bantuan mulai berdatangan ke tangaan masyarakat. Namun tidak bias menyelesaikan sepenuhnya masalah banjir ini.

Untunglah ada beberapa kalangan yang mencoba membantu pemerintah dalam menanggulangi banjir ini. Mereka bisanya adalah oaring selama ini yang dikenala sebagai relawan yang khusus dibentuk mewakli institusi atau organisasi tertentu. Umumnya mereka berasal dari baerbagai unsure masyarakat, baik itu PMI, relawan dari perguruan tinggi, pramuka sampai tim relawan yang dibentuk oleh parpol. Ada sebuah keinginan mulai yang tertanam dalam diri mereka tanap mengharapkan apa-apa selain melakukan pertolongan.

Namun berbeda dengan prilaku sebaian elit di negeri ini, musibang sepertinya dijadikan ajang untuk tebar pesona dan tebar simpati. Mereka berlomba-lomaba memberikan bantuan kapada masyarakat yang terkena musibah. Ada yang membentuk tim relawan kesehatan, yang mengerakakan sejumlah tim medis, menyediakan tim kesehatan, dan perahu sampai turun alngsung kepada masyarakat untuk sekedar memberi batuan. Dilihat dari perhatian yang mereka lakukan, sejujurnya kita harus berterimakah karena masih saja ada orang yang simpati dengan musibah yang menimpa masyarakat.

Namun yang menjadi kerisauan selama ini, elit lebih cenderung menjadikan musibah ini sebagai momen untuk mendapatkan simapati dan perhatian sebagia bagian awala dari kanpanye terselubung. Kalau ini terjadi, terkesan kurang ada keiklasa dibalik pemberian bantuan ini. Ada udang di balik bakwan, kata orang Minang artinya tidak terlihat kesungguhan.

Khusus untuk DKI Jakarta, karena akan mendekati pilkada memang menjadi momen yang sangat tepat untuk melakukan simpati kepada masyarakat. Tidak butuh biaya mahal-mahal untuk melakukan kampaye dalam masyrakat. Cukup datang membawa bantuan, kemudian menyerahkannya, lalu dimasukan kemedia sebagai bentuk promosi kaerana telah membantu.

Tidak ada komentar: