Selasa, 29 Januari 2008

MAK KUMI DAN KESEDIHAN KITA
Oleh Revi Marta Dasta
(Haluan. Senin, 26 Maret 2007)

Di tengah hiruk pikuknya kita dalam menangani masalah gempa dan pembangunan kembali istano pagaruyung, sejenak hati kita tersentak, ternyata saat ini masih ada masyarakat yang makan tanah untuk bertahan hidup. Padahal tidak ada terjadi musibah dan kejadian yang luar biasa di tempat itu sehingga mak kumi 65 tahun dan keluarganya harus makan tanah dalam mempertahankan hidupnya.

Coba kita renungkan, seprah itukah keadaan masyarakat hari ini? Tidak adakah orang yang peduli dengan masip mak kumi. Kemana larinya pemerintahan daerah, ninik mamak, alim ulama, tokoh parpol, tokoh LSM, mahasiswa dan tenaga pal kumi? Pernahkan terketuk hati mereka sebelumnya untuk membantu?

Beruntung harian Haluan mengelurkan pemberitaan kisah mak kumi ini. Kalau tidak mungkin saja mak kumi dan keluarganya akan seterusnya makan tanah. Atau harus bunuh diri secara massal karena tidak tahan lagi seperti yang dilakukan salah seorang ibu rumah tangga di Malang beberapa waktu lalu.

Tidak bias kita bayangkan di daerah yang katanya kaya dengan sumber daya alam ini, banyak menghasilkan ikan, perwisatanya yang sudah internasional, perkebunan yang luas ternyata masih saja ada masyarakat yang makan tanah, sungguh ironis.

Mak kumi mungkin salah satu potret kehidupan nyata masyarakat kita hari ini. Kalau kita mau berjujur-jujur masih banyak orang seperti mak kumi bahkan lebih parah dari pada itu. Beruntung semua tidak terekspos ke media masa. Kalau iya, bias saja semuanya akan kebakaran jenggot..Coba kita renungkan, untuk bertahan hidup saja mereka harus makan tanah, bagai man dengan pemenuhan kebutuhan yang lainnya, misalnya untuk menyekolahkan anaknya serta untuk beli kebutuhan lainnya. Bagaimana mereka dapat menikmati hidup secara layak seperti lainnya. Kalau lah banyak orang seperti Mak Kumi, maka tunggulah azab bagi kita semuanya.

Keadaan masyarakat kita hari ini terutama di daerah-daerah terpencil memang sangat menyedihkan. Masyarakat sudah lelah dengan keadaan hari ini, hamper semua bahan pokok kebutuhan masyarakat naik tajam. Misalnya saja beras dari harga Rp.9000 naik menjadi Rp. 14.000, sementara pemasukan masyarakat tidak banyak. Besar pasak dari pada tiang begitu pepatah orang. Belum lagi harga cabe, tomat, dan segala macamnya.kondisi ini ditambah lagi dengan datangnya bencana alam dan dampak yang di timbulka olehnya seperti penyakit dan rasa trauma yang belum hilang.

Tentu pemberitaan inoi yang lelah menampar wajah pemerintah daerah setempat. Walaupaun pak bupati dating dang lansung menangis didepan pak kumio, untuk sementara mungkin saja kesedihan pak kumi dan keluarganya terobati.

Namun cukuplah kedatangan itu, atau hanya sekedar melihatkan kepedulian s esaat. Saya yakin pak bupati tidak akan berbuat seperti itu. Namun pasti memikirkan jalan yang terbaik untuk membanti, kita tunggu saja.

Bukan bermaksud membesar-besarkan masalah, namun kasus ini adalah sebuah peringatan yang semestinya harus mendapatkan perhatian serius pemerintah. Sebab selam in, tingkat kemiskinan ditempat mak kumi cendrung sangat tinggi. Masyarakat banyak yang miskin. Disaat daerah lain berlomba-lomba dalam memajukan daerahnya tetapi kampong mak kumi seakn jalan ditempat. Ditabah lagi terjadinya banjir yang tidak berkesudahan. Setiap ada hujan selalu banjir dating. Tentunya akan menambah angka kemiskinan baru dalam masyarakat. Lahan yang tergenang air, jalan yang tidak bias digunakan dan sebagainya. Merupakan keadaan nyata yang harus diperhatikan.

Ya, sekali nasib Mak kumi, 65 tahun, memang malang, Sebuah kisah yang sangat menyedihkan dan memilukan. Mungkin saja Mak kumi sering merenung dalam hatinya mengapa ia harus makan tanah untuk bertahan hidup, padahal tetangga disebalahnya sudah berbicara tentang merek motor yang akan dibeli, jenis pakain yang akan dibeli atau berbicara tentang kemajuan-kemajuan yang telah diraih. Rasanya ia tidak menikmati enaknya 62 tahun merdeka. Untuk itu sangat dibutuhkan bantuan dari kita bersama.

Tidak ada komentar: